Pernah dulu ketika ngikutin kajian Rohis di Kampus sang Ustadzah menerangkan materi tentang potensi kehidupan. Beliau mengawali dengan retorika yang sampai sekarang masih begitu melekat diingatan.
"Pernahkah kalian mengamati sungai?" Tanya beliau ke audience.
Ngeliat pernah mengamati gak pernah gumamku.
Ustadzah melanjutkan, "coba sebutkan apa saja hal-hal yang bisa kita lihat di sungai?" Disana ada air, daun-daun yang rontok, ranting yang hanyut, ikan dan bebatuan di dasar sungai.
Sang Ustadzah menerangkan beda atau sama benda yang hidup dengan yang mati? Ambil saja tiga contoh: Batu, ranting dan ikan. Batu berada di dasar sungai ia terlihat tenang diam tak ada respon apapun meski airnya sedang mengalir dengan deras. Ia tetap tak bergeming.
Beda lagi dengan ranting kering yang terjatuh ke dalam aliran sungai. Ia akan hanyut terbawa arus. Ia hanya pasrah tak ada perlawanan. Mau dibawa kemana ia oleh sang air oke saja. Karena memang ia tak ada daya untuk melawan. Ia adalah benda mati yang tak punya kekuatan.
Lain halnya dengan si ikan. Meski ia kecil dan terlihat tak berdaya diantara bebatuan yang besar. Ia melakukan hal yang tak bisa dilakukan oleh batu dan ranting. Sang ikan dengan lincahnya berenang melawan arus. Ia tak mau begitu saja terbawa aliran sungai yang entah kemana akan membawanya. Dengan penuh kekuatan ia berusaha melawan dan melawan dengan terus berenang melawan arus.
Hari ini kita hidup dalam sistem yang penuh dengan kedzaliman. Dimana ketidakadilan dan kesewenang-wenangan menjadi hidangan sehari-hari. Penguasa tak ada hati nurani. Mendzalimi rakyat dengan segudang undang-undang buatan Dewan Penghianat Rakyat. Inilah buah sistem Demokrasi-Kapitalisme. Dimana penguasa yang ada menjadi hamba para pengusaha.
Kemarin hingga hari ini negeri kita masih riuh dengan aksi para buruh menuntut keadilan. Bukan hanya kaum buruh bahkan millenials dan kpopers pun ikut andil dalam aksi tersebut. Ya mereka menuntut keadilan dari penguasa. Memilih bergerak melawan arus seperti ikan. Menandakan bahwa dalam diri mereka ada kehidupan.
Mari tengok diri kita diposisi apa kita sekarang dalam menyikapi kedzaliman ini. Diam seperti batu, ikut arus seperti ranting kayu atau melawan arus seperti ikan. Diam seperti batu memang akan aman tak ada resiko. Atau malah ikut arus dan nurut saja, enjoy menikmati setiap kedzaliman dari penguasa.? Baik diam atau ikut arus keduanya sama-sama tak bisa menyelamatkan kita. Sebab perubahan adalah sebuah keniscayaan.
Silent is golden (Diam adalah emas). Rasanya pepatah ini tak selalu sesuai kita pakai kapan saja. Tak selamanya diam itu adalah emas. Sebagai seorang mukmin kita diwajibkan oleh Allah Swt untuk melakukan amar' ma'ruf nahi mungkar. Yaitu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Aksi penolakan terhadap kedzaliman adalah bagian dari nahi mungkar yakni mencegah dari kemungkaran.
Melawan atau diam adalah sebuah pilihan. Namun Allah telah memberikan kita potensi kehidupan berupa akal yang dengannya kita bisa berfikir untuk menemukan kebenaran. Kebenaran itu hanya ada dalam agama Islam. Sebab Islam berasal dari Sang Pencipta alam semesta manusia dan kehidupan.
Sekedar ingin berbagi bukan menghakimi. Sebab diri ini pun tak sempurna dan tak ada kuasa. Instinya sekecil apapun diri kita jangan kita hanya diam. Lakukan gerakan semampunya meski hanya bisa bersuara lewat pena. Karena Allah melihat usaha kita.
Wallahu'alam bish-shawab.
Posting Komentar