Sosok perempuan tak habis dibicarakan. Banyak sisi diulik untuk mengokohkan eksistensinya. Tapi berbagai aktivitas, gaya, dan kehidupan yang kebanyakan diadopsi perempuan saat ini, justru menjauhkan nilai-nilai fitrahnya.
Lalu, sebenarnya bagaimana profil perempuan itu? Lemah lembut, halus budi bahasanya, banyak di rumah, sayang anak, patuh pada suami, pemalu, penurut, lebih pasrah, tidak banyak mengeluh dan banyak bersyukur. Ah, itu dulu. Sekarang, tidak banyak perempuan seperti itu. Bila yang sebaliknya? Banyak. Perempuan kasar, pembangkang, pemberontak, banyak mengeluh, materialistik, selalu menuntut, tidak punya malu dan bahkan jahat. Perempuan bahkan menjadi “ratu tega”: tega mengaborsi janin, membuang orok, membuanuh anak kandung, mengajak anak bunuh diri, menjual anak, membuanuh suami, menipu, mengonsumsi narkoba, merampok, dan lain-lain.
Perempuan masa kini juga bukan perempuan yang pemalu. Sekarang mereka sangat pemberani. Berani menampakkan aurat, pergi jauh tanpa ditemani suami atau mahrom, mengekspose aib sendiri, tak malu menonjolkan diri, tak tabu membicarakan masalah intim dan lain-lain.
Lalu, perempuan masa kini juga sangat kuat dan perkasa. Lihat saja, setiap kali peringatan hari Kartini, profil perempuan yang diekspose sebagai ikon keberhasilan atas kemandirian dan keseteraan perempuan adalah: penarik becak wanita, tukang ojek wanita, sopir taksi wanita, petinju wanita dan sejenisnya. Duh, begitukah profil perempuan modern? Itukah yang dicita-citakan kaum hawa?
Sosok perempuan memang sudah mengalami pergeseran sangat tajam. Hal itu terjadi sejak arus emansipasi dihembuskan. Perempuan didorong misi untuk mengejar peran sama persis dengan laki-laki, bahkan kalau bisa melampaui. Paradigm kesetaraan gender itu dilahirkan oleh ideologi sekuler, yang menganggap agama sebagi faktor penghambat kemajuan peempuan.
Padahal, justru dengan mengajarkan paham kebebasan dan materialisme, perempuan terbelok jauh dari fitrahnya. Terjadi dehumanisme, eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan sekuler jauh dalam kerendahan harkat dan martabat. Harga dirinya hanya diukur dari penampilan fisik, tinggi dan berat badan, warna kulit, pakaian yang dikenakan, merek sepatu atau tasnya, serta jabatan di ranah publik. Lahirlah perempuan yang sejatinya menderita lahir dan batin.
Sosok perempuan sekuler saat ini tak ubahnya seperti perempuan di Barat yang memang lebih dulu menerapkan sekulerisme. Disana, perempuan memang sangat liberal. Mereka berhak menuntut apa saja yang dikehendakinya, termasuk meninggalkan kodrat keperempuannya. Namun tak sedikit masyarakat di Barat sadar dan mulai mengembalikan perempuan kepada fitrahnya. Gerakan untuk “menggiring” perempuan kembali ke rumah, direspon positif berbagai elemen masyarakat. Termasuk di Amerika Serikat. Ini setelah meluasnya problem-problem social gara-gara perempuan bersaing dengan laki-laki di ranah public. Seperti tingginya pengangguran (laki-laki), perceraian, perselingkuhan, single parent, dan lain-lain.
Sungguh bodoh jika peradaban sampah di barat yang sudah terbukti using dan rusak, masih juga disanjung sebagai sistem terbaik di negeri kita. Semestinya perempuan pintar tidak mau dirinya dipoles menjadi perempuan sekuler.
Perempuan Islam
Bersyukurlah, sebagian perempuan muslim eling (sadar) dan menjalani hidup dengan nilai-nilai Islam. Masih banyak muslimah yang bangga menjalani profesi ibu rumah tangga, melahirkan banhyak generasi penerus, menyibukkan diri mendidiknya menjadi anak sholeh dan shalihah.
Memang, berkiprah di ranah publik dilarang. Bahkan, diantara para muslimah kini, mereka juga berkiprah untuk masyarakat. Ada yang mengabdikan ilmunya untuk mencerdaskan kaum perempuan, mendakwahi dengan kajian fikih-fikih perempuan, menggugah perempuan agar menjadi peletak dasar pereubahan menuju masyarakat islami.
Semua itu karena mereka paham Islam dan membersihkan diri dari nilai-nilai sekulerisme. Perempuan mulia tidak diukur dari penampilan fisik, pakaian dan asesorisnya. Perempuan mulia tidak materialistis, tapi juga tidak menderita karena kekurangan harta. Perempuan Islam tidak diperkenankan menjalani profesi yang merendahkan harkat dan martabatnya. Perempuan mulia menyibukkan diri dengan ibadah menuju ketakwaan, karena itulah bekal utama dalam menjalani kehidupan.
Islam benar-benar dijadikan pandangan hidup. Sebab hanya Islamlah yang mengajarkan segala kebaikan. Jadi, jika ada perempuan berhati lembut, berkasih sayang dan penuh empati, sudah pasti mereka muslimah taat. Jika ad muslimah kaya yang juga gemar membantu sesama, itu bukan karena ajaran sekulerisme, melainkan Islam. Karena dalam Islam, sesame muslim adalah bersaudara. Muslimah yakin, bersedekah bukan mengurangai harta, melainkan malah membuka pintu rezeki. Jika ada perempuan tiadak putus asa, namun tetap berharap pada rezeki dari-Nya, itu juga buah ketakwaan, bukan hasil didikan sekulerisme. Sebab Islam mengajarkan tawakal, sementara sekulerisme justru mengajak pada keputus-asaan.
Dengan sikap mental yang mulia, sejarah mencatat, perempuan di masa khilafah mengalami kemajuan luar biasa, meski tanpa capek-capek, menyetarakan perannya. Terutama dibidang ilmu, para muslimah banyak yang menjadi kaum terpelajar. Tak sedikait orang Barat yang mengagumi kemuliaan para muslimah. Jangan heran bila saat ini, banyak banyak perempuan non muslim Barat masuk Islam karena terpesona pada perlindungi Islam terhadap harkat dan martabat perempuan. Padahala itu hanya secuil yang diaplikasikan dari nilai-nilai Islam oleh para muslimah masa kini, brlum kaffah sebagaimana jika khilafah tegak.
Ya, jika khilafah menerapkan seluruh aspek syariat Islam, niscaya kemuliaan muslimah akan semakin tampak nyata. Sebab hanya khilafahlah yang memuliakan perempuan. Sayang profil pereempuan seperti ini tidak banyak diekspos. Bahkan, ketika membincangkan khilafah, yang dipropagandakan justru: perempuan hanya menjadi selir atau budak penguasa. Sungguh gambaran sejarah yang tidak jujur.
Kini, saatnya mengembalikan harkat dan martabat perempuan, meluruskan kembali ke rel yang benar, mengarahkan kembali pada kodratnya. Dan itu hanya terwujud jika perempuan hidup di bawah naungan khilafah. Sejatinya, khilafah bisa diwujudkan. Tentu, jika perempuan pun ikut memperjuangkannya.
Cantik vs Pintar Siapa Yang menang?
Sejatinya, menjadi perempuan cantik itu menyiksa. Memang, bisa jadi di satu sisi seorang perempuan perempuan cantik akan mendapat kemudahan-kemudahan dibanding yang kurang cantik. Saat melamar pekerjaan misalnya, jika ada dua kandidat perempuan yang sama-sama pintar, satu cantik dan satu standar, pasti yang cantik yang diterima.
Tapi, hidup seorang perempuan cantik tak selamanya menjadi mudah. Bahkan mungkin bebannya menjadi lebih berat daripada perempuan lain pada umumnya. Sebab ia harus membuktikan pada dunia bahwa ia tak hanya bermodal kecantikan, tapi juga kemampuan. Maka ketika seorang perempuan cantik tak mampu membuktikan kinerja yang baik, ia akan berbalik diremehkan. “Cantik-cantik kok bodo?” Begitu komentar orang.
Kurangnya kualitas kecerdasan in ilah yang lalu menimbulkan steorotipe bahwa perempuan cantik itu umumnya tak cerdas. Karena itu, dianugerahi wajah cantik, seseorang dituntut “lebih” dalam hal lainnya. Harus baik, ramah, lucu, dan pintar. Sebuah tuntutan yang menyiksa, terutama bagi si cantik yang tidak berisi otaknya.
Padahal, tidak semua perempuan cantik itu bodoh. Masalahnya, seringkali mereka hanya lebih peduli untuk merawat kecantikan. Seperti kata Mignon McLaughlin, wartawan dan penulis di sejumlah majalah wanita seperti Redbook, Cosmopolitan, Vogue, dan Glamour: “ Banyak perempuan cantik yang bahagia dengan kecantikannya, tapi tidak ada perempuan cerdas yang bahagia dengan kecerdasannya.” Perempuan akan puas dengan kecantikannya, tapi perempuan pintar tidak akan pernah puas dengan kepintarannya.
Sebagai muslimah, kita jangan larut pada paham yang menjadikan kecantikan segala-galanya. Justru dalam pandangan Islam, kecantikan fisik bukan apa-apa. Jangan tertipu dengan jerat-jerat yang dipasang para pelaku industri kosmetik. Sejatinya mereka berniat memalingkan para muslimah dari identitas keislamannya.
Ya, itu salah satu upaya ideologi sekuler ini untuk mengalahkan Islam yaitu dengan menjatuhkan para wanitanya. Kaum perempuan adalah sosok yang paling mudah dibujuk-rayu. Jika sudah hancur harkat dan martabat para muslimah, akan sangat mudah menggoyahkan sendi-sendi ideologi Islam. Bukankah suadah banyak fakta, betapa kerusakan pada kaum wanita akan menjadi pintu kehancuran? Itulah yang diharapkan Barat, dengan menggiring kaum perempuan pada kecantikan palsu duniawi. Mereka dijadikan objek maupun subjek industri kecantikan. Sumber energi kaum perempuan dieksploitasi habis-habisan di sektor sia-sia ini.
Karena itu, wahai kaum wanita, selamatkan diri kita dari penjara kapitalis ini. Sebagai muslimah, kita wajib menyadari bahwa ketakwaanlah nilai-nilai utama yang wajib dikejar, dibanding kecantikan. Karena itu, daripada sibuk memikirkan polesan make up, marilah bersibuk memikirkan bekal iman. Tak perlu memoles bibir dengan gincu, tapi poleslah dengan zikir, tasbih dan tahmid (Ali Imron: 41).
Muslimah takwa adalah yang selalu mengucap syukur atas nikmat Allah Swt (Al-Baqarah: 152). Lidahnya terjaga dari cacian, umpatan, olok-olokan, dan kata-kata kotor yang menyakitkan hati (Al-Hujaraat:11). Matanya bening, terjaga dari hal-hal yang haram untuk dilihat (An Nuur: 31). Hatinya penuh rasa kecintaan pada Robb-Nya (Ali-Imron: 31). Jauh hatinya dari rasa dengki, sombong dan hasud. Keikhlasan senantiasa menghiasi qolbu yang pernah lupa akan kebesaran Allah Swt (An-Nisaa: 125). Hati yang senantiasa siap menerima kebenaran dan keimanan. Hatinya bak cermin nan indah dan bersih yang selalu siap menerima hidayah dari Allah Swt dan memantulkannya serta menyebarkannya ke seluruh penjuru jagad raya.
Muslimah cantik selalu mengenakan pakaian takwa (Al-A’raaf: 26). Pakaian yang senantiasa melindunginya, dalam setiap waktu dan kesempatan. Pakaian yang membedakan dirinya dari wanita rendahan. Pakaian yang membawanya menuju pribadi mulia. Busana yang kelak membawanya berjumpa dengan Allah swt tercinta. Itulah ciri-ciri wanita ahli surga, tak sekedar cantik secara fisik dan penampilan tapi hati dan pikirannya juga cantik. Semoga kita termasuk satu di antaranya. Aamiin!
Saatnya Muslimah Bangkit
Ketidakadilan, eksploitasi, pelecehan terus saja dialami oleh para perempuan kini. Bahkan kasusnya dari hari ke hari semakin meningkat dan menelan korban. Keadaan ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Karena, perempuan adalah makhluk yang sama-sama diciptakan Allah Swt dengan kaum laki-laki, Jadi perempuan juga layak dihargai sebagaimana kaum laki-laki. Tak sepatutnya perempuan dijadikan barang komoditi untuk dieksploitasi dimana-mana, ini justru menurunkan harkat dan martabat perempuan serta hilangnya jati diri perempuan itu sendiri.
Maka dari itu, berbeda dengan peradaban Barat manapun, Islam menempatkan perempuan pada posisi yang bermartabat. Peran kaum muslimah ini sudah digariskan dengan jelas. Bahwa perempuan memiliki peran utama di rumah, sebagai ummun wa robbatul bayt dan pendidik anak. Karena itu, Islam memberi lebih pada peran vital perempuan dalam pembentukan keluarga dan pelahir generasi ini.
Misalnya, Islam tidak membebankan masalah finansial pada perempuan, sehingga ia fokus ia mengurus rumah tangga dan anak-anak. Namun, ia berdiri mensupport suami guna menguatkan perannya dalam berbagai kiprah. Perannya ini akan menjaga bangunan institusi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat dan negara.
Tentu saja, muslimah diwajibkan cerdas dengan terus menuntut ilmu dan mengkaji tsaqofah sebagai bekalnya. Darimana mendapatkan ilmu ini? Jika tak mampu diperoleh di rumah, dibolehkan untuk keluar rumah seperti ke majlis ilmu atau pendidikan formal. Siapa yang mengajarkan? Bisa sesama muslimah. Karena itu, peran strategis muslimah di ranah publik juga sebagai sebagai daiyah yang berkontribusi dalam mencerdaskan kaumnya.
Peran ini bukan remeh temeh. Ini adalah peran politik dan strategis perempuan dalam pandangan Islam yang memiliki kontribusi sangat besar dalam pembentukan keluarga yang tangguh, generasi terbaik dan masyarakat madani.
Bahkan sejarah Islam mencatat lahirnya politikus-politikus muslimah handal. Dimulai dari para shababiyah di masa rasulullah saw. Peran mereka tak sebatas dapur, sumur dan kasur. Mereka adalah pendidik umat, berdakwah mencerdaskan kaumnya, sekaligus menghasilkan para generasi terbaik.
Asma binti Abu Bakar mendapat gelar sebagai Zatun Naqatain (perempuan dengan dua ikat pinggang), karena kecerdikannya mengelabui para mafia Quraisy. Berkat jasanya Rasulullah saw selamat saat hijrah ke Madinah.
Shabiyah yang lain adalah Khansa yang mendapat gelar Ibu dari para shuhada. Bagaimana tidak, empat anaknya dipersembahkan untuk jihad hingga menemui shahid dengan penuh keikhlasan. Sungguh teladan perempuan berhati seluas samudera.
Selanjutnya pada era kekhilafahan, para politikus muslimah memiliki kontribusi besar dalam turut serta membangun peradaban, abad ke-15 seorang Muhammad Al-Fatih takkan pernah lahir sebagai penakhluk Konstatinopel jika tak memiliki seorang ibu yang militan, Huma Hatun.
Siti zubaidah, istri khalifah Harun Ar-Rasyid, karya jeniusnya dikenang sepanjang sejarah. Peninggalan berupa mata air Ain Zubaidah alias Mata Air Zubaidah di Wadi Nu’man, Arab Saudi, masih dirasakan manfaatnya hingga kini, khususnya oleh para jamaah haji.
Karena itu semestinya pengarus-utamaan peran muslimah saat ini adalah berupa pencerdasan politik pada perempuan. Ini agar mereka memahami hakikat diri dan berkiprah sesuai fitrahnya. Jangan sampai muslimah tenggelam dalam arus pemberdayaan ala Barat yang akan menggerus dan selanjutnya menghilangkan identitasnya sebagai muslimah sejati.
Potret perempuan politikus yang berkualitas hanya akan lahir dari sistem Islam. Mereka adalah perempuan yang berambisi turut serta memikirkan kepentingan umat tanpa pamrih. Tidak mengejar kursi jabatan, bukan pula ketenaran, melainkan pengabdian tulus demi menggapai ridho Allah Swt.
Posting Komentar