Dilema Guru antara Ada dan Tiada

Di era jaman now tidak dipungkiri bahwa “sosok guru” sering disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Dalam keseharian, guru berhadapan dengan peserta didik dan menjadi pengelola pembelajaran. Fakta bahwa jumlah guru di seluruh Indonesia lebih dari 2 juta orang menguatkan cara pandang bahwa guru merupakan profesi yang penting untuk terus dikembangkan kualitasnya.

Guru sebagai sebuah “profesi”, artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai pengajar sekaligus pendidik. Seorang guru tidak boleh mengajar dengan sembarangan dan kita juga jangan memilih orang sembarangan untuk dijadikan guru, karena ditangan guru akan menentukan arah dan tujuan siswa didiknya. Jika dilaksanakan oleh orang yang tidak berpendidikan bisa berakibat fatal pada masa depan siswa-siswi kebanggaan bangsa dan agama.

Tugas guru tidak terbatas pada proses belajar-mengajar di kelas saja akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, guru juga harus mencerminkan jiwa pendidik yang berwawasan intelek yang setiap saat siap dimintai nasehat dan ilmu serta memberi contoh perilaku yang akhlakul karimah, karena tidak dipungkiri setiap pasang mata laksana CCTV yang selalu ON 24 jam, yang akan menyoroti tingkah laku seorang guru, maka dari itu guru layak dikatakan seorang dewa yang harus tampil sempurna dan berjiwa ksatria yang senantiasa bersahaja dan bersabda seperti raja yang setiap perkataan, tingkah laku dan cara hidupnya dijadikan sebagai panutan masyarakat.

Menurut Kemdikbud, Renny Yunus 13/2/2018 mencatat bahwa 19.317 guru honorer di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T) bisa diangkat jadi PNS tahun ini. Mereka merupakan guru professional yang bersertifikasi. (tirto.id). Wacana pemerintah ini, membuat hati gembira pada nurani para guru. Kenapa tidak ? hal yang dinanti-nantikan selama ini tentang gaji yang layak dan pekerjaan yang mapan tentu menjadi idam-idaman seorang guru yang telah lama mengabdi di lembaga pendidikan. Bukan hal mustahil jika pemerintah berniat menyejahterakan profesi guru, dengan besarnya APBN dan kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia yang melimpah tentu ini bukanlah hal mustahil, karena mengingat pentingnya dan besarnya tanggung jawab yang ada dipundaknya tentu harus dipertimbangkan dan disegerakan untuk jaminan kesejahteraannya.

Namun nampaknya fakta dibalik rencana itu ada beberapa ketentuan yang digarisbawahi dan menjadi sorotan tajam beberapa kalangan pemerhati dunia pendidikan. Raut muka yang berseri-seri nampaknya akan segera memudar dan segera diselimuti awan gelap dan mendungpun telah menanti untuk menurunkan hujan tangis yang disebabkan kebijakan tersebut laksana oasis digurun sahara namun berubah menjadi telaga racun yang tidak sedap untuk diminum. Sontak kebahagiaan itupun tidak bernaung lama, karena ternyata guru sebanyak 19.317 itu belum dipilah berdasarkan kelompok usia.

Menurut berita yang beredar menyatakan bahwa untuk diangkat menjadi CPNS, maksimal usianya adalah 32 tahun karena sebelum diangkat perlu latihan selama satu tahun. Padahal dari jumlah itu paling banyak usianya diatas 35 tahun mungkin hampir separuhnya, malah ada yang berumur 40-50 tahun dan bahkan sudah layak jika beliau pensiun. Tapi bukan mustahil kenapa diusia tersebut beliau masih aktif di dunia pendidikan karena kepeduliannya dan kurangnya guru di sekolah tersebut. Jadi mendengar pernyataan itu hanya bisa gigit jari dan balik kanan alias buang muka akan aturan yang tidak berpihak pada keadilan.

Dari sisi pemerintah Kebijakan tersebut memang dirasa sudah bagus, namun tidakkah mereka pengambil kebijakan turun langsung di lapangan dan mensurvei manakah guru yang layak dan memang harus diutamakan untuk memperoleh kebijakan dengan pertimbangan masa bakti dan tingkat kebutuhan daerah tersebut, jangan hanya karena ego sendiri dan gengsi sehingga tidak mau tahu akan kebenaran di lapangan.

Berbagai kalangan menyatakan bahwa kesejahteraan seorang guru honorer saat ini cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak ? dia mengajar kelas dengan beban kerja 24 jam sehingga diwajibkan aktif masuk setiap hari demi tuntutan sekolah yang tidak memiliki guru tetapi dilain sisi honor yang diterima hanya cukup untuk transportasi bahkan kurang bagi sebagian guru yang berdomisili jauh dari lokasi sekolah. Tentu kebijakan tentang pengangkatan CPNS ini merupakan angin segar tetapi jika ujung-ujungnya tidak mencerminkan keadilan pada semua kalangan maka diperkirakan hanya mengakibatkan kecemburuan berbagai pihak yang mengklaim bahwa dirinya lebih layak dan berhak daripada yang lain karena merasa lebih lama mengabdi dan lebih pantas daripada yang muda.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan perhatian Rasulullah SAW terhadap dunia pendidikan semasa kejayaan Islam. Hal tersebut ditunjukkan ketika Beliau menetapkan kebijakan bagi para tawanan perang badar bahwa akan mendapatkan kebebasan jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan dan menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara).

Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana dan sistem pendidikan, serta memberikan gaji untuk para pendidik masyarakat.

Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya yang sangat besar, demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).

Hadits tersebut menjelaskan secara gamblang bahwa memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi, semua harus disiapkan oleh negara. Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) sekitar 29 juta rupiah dengan kurs dolar sekarang.

Begitulah islam memuliakan profesi guru, karena guru komponen yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan begitu guru akan istiqomah dalam mengabdi, mendidik, mengajar, dan menularkan nilai-nilai pendidikan dan mentalitas super kepada anak-anak untuk menyonsong masa depan yang lebih cerah dan sehingga menjadi kebanggaan bangsa dan agama. Sudah banyak prestasi terbaik dalam mengharumkan nama bangsa yang dihasilkan oleh putra-putri kebanggaan bangsa baik dikancah nasional maupun internasional. Tidak lain, hal itu dikarenakan polesan dan didikan seorang guru yang dengan setia mendampinginya. “Guru telah menjadi kunci utama keberhasilan bangsa .

Fenomena Pendidikan di Indonesia

Mencari akar masalah pendidikan seperti mengurai benang kusut. Permasalahan yang sangat komplek dan sistemik. Ada unsur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan tentunya pendidikan itu sendiri. Namun faktor paling dominan dalam suatu negara adalah sistem ekonominya.

Sejak SD anak-anak sudah ditanamkan fakta bahwa Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Pertanian, perkebunan, hasil laut, hutan, tambang (emas, perak, batu bara, gas bumi, nikel) dan lain-lain. 

Pada faktanya rakyat Indonsia banyak yang miskin. Ditambah pula pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia mengalami defisit anggaran dari pusat sampai ke daerah. Wow!

Kok bisa Indonesia kan kaya. Terus ke mana kekayaan alam Indonesia?

Semua itu bisa terjadi karena di Indonesia diterapkan sistem ekonomi kapitalis?

Sistem Ekonomi Kapitalis, Apaan tuh?

Kalau ekonomi terkait dengan aktifitas perdagangan atau jual beli.

Kalau kapitalis terkait dengan modal atau pemilik modal.

Sederhananya, dalam sistem ekonomi kapitalis, pemerintah boleh menjual sumber daya alam Indonesia kepada siapa saja yang punya modal buat beli, mau dia orang Indonesia ataupun orang asing. 

Uang hasil jualannya buat siapa? Ya buat di bagi-bagi sama penguasa yang korup, istilahnya 'korupsi berjamaah'.

Jadilah sumber daya alam Indonesia yang luar biasa banyaknya itu sebagian besar sudah jadi milik orang asing ataupun swasta, meskipun wujudnya masih ada di Indonesia. Akhirnya muncul istilah 'miskin di negeri kaya'.

Coba bayangkan kalau sumber daya alam Indonesia dikelola sendiri sama pemerintah Indonesia dan hasilnya dipakai buat biaya pendidikan. Bukan hal yang mustahil jika biaya pendidikan dari paud sampai profesor bakalan gratis. Bukan sekedar janji-janji politik, selain itu kesejahteraan guru atau pendidik juga terjamin.

Bahkan bisa dipakai buat menanggung biaya hidup anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena masalah ekonomi.

Posting Komentar